Minggu, 06 Maret 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

ALAMATX: http://udhiexz.wordpress.com/2007/12/30/10/

A. Pendahuluan

Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya.

1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal.

2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal.

3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.

4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.

5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsumg yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio.

Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda .

Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme.

Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.

B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.

Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.

Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.

Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.

Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.

Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ). Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.

Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah :

“ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )”

Dan Hadis dari Nabi SAW :

“ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”

Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :

1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.

2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.

3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.

Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.

Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik.

Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal.

Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.

Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :

1) Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.

2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.

3) Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya

Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya

Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.

C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam

Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.

D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :

1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.

2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.

3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.

4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.

5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.

E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam

Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :

Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.

Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.

Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.

Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.

F. Penutup.

Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam.

Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten.

Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan.

Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000

Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.

Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,


Makalah Filsafat Pendidikan Islam

ANALISIS KRITIS
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBN SINA


Oleh: Muhammad Kosim

A. Pendahuluan

Ibnu Sina (980-1037 M) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, penyair dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosof dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, akan tetapi beberapa kajian yang dilakukan oleh generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibn Sina ditemukan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam. Oleh sebab itu, Ibn Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant.
Pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam memang telah banyak dikaji oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut berhenti di situ saja. Pemikiran Ibn Sina yang tertulis dalam karya-karyanya akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat ini sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang bersifat solutif terhadap berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini, termasuk di Indonesia.

Selain itu, pemikiran pendidikan yang dilahirkan oleh ilmuan muslim sejatinya menjadi referensi penting dalam pengembangan pendidikan Islam dalam konteks kekinian dan kedisinian. Sebab, pemikiran yang ia lahirkan tentu berlandaskan, atau tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup umat manusia dalam setiap lintasan zaman kehidupan.
Makalah yang sederhana ini akan mencoba untuk menganalisis pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan dikemukakan terlebih dahulu biografi Ibn Sina serta karya-karyanya, kemudian mengkaji pemikirannya tentang manusia dengan konsep jiwa, lalu beberapa komponen pendidikan Islam, seperti tujuan pendidikan, kurikulum, dan metode pembelajaran.

B. Biografi dan Karya Ibnu Sina

1. Riwayat Hidup

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ia lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.

Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibn Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa. Sejak kecil, banyak orang yang mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya/Child prodigy, bahkan pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur'an seluruhnya. Dalam hal ini ia mengatakan:
"Saya telah menghafal dan melengkapi studi al-Qur'an serta bagian-bagian terpenting dari kesusastraan bahasa Arab, sebegitu jauhnya sehingga orang-orang merasa ingin mengetahui lebih jauh tentang apa yang telah saya dapatkan."

Ia juga seorang ahli puisi Persia. Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun juga. Karena kepintarannya itulah, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi setelah ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, dimana sebelumnya tidak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan.

Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Di antara guru yang mendidiknya adalah Abu 'Abd Allah al-Natili dan Isma'il sang Zahid. Dengan kejeniusannya, ia mampu menguasai ilmu yang diterimanya, bahkan melebih dari gurunya. Meskipun Ibn Sina sempat kebingungan untuk memenuhi hasrat belajarnya yang tak kunjung terpenuhi dari guru yang telah ia temui, akhirnya ia dapat lebih banyak belajar di perpustakaan istana, Kutub Khāna. Ia diberikan kebebasan belajar di perpustakaan ini karena keberhasilannya menyembuhkan sang pangeran, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Beragam ilmu pengetahuan yang ia pelajari dan kuasai di perpustakaan ini, termasuk di bidang filsafat. Namun, dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia memperoleh kesulitan. Pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya.

Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh al-Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Dengan mengenal pemikiran al-Farabi, ia mengaku berhutang budi kepada al-Farabi. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin. Peristiwa ini terjadi ketika ia berusia 18 tahun. Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas" tapi hanya perlu meningkatkan pemahamannya secara "mendalam" atas apa yang sudah dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia memasuki usia senja, ia pernah menyatakan kepada muridnya, al-Juzjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Pengalaman Ibn Sina mengajarkan kepada generasi sesudahnya bahwa masa muda amat menentukan keberhasilan seseorang.

Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibn Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibn Sina yang membakarnya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana, kecuali Ibn Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual.

Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.

2.Karya-karya Ibnu Sina

Ibn Sina sangat produktif dalam melahirkan karya tertulis, meskipun ia sibuk dalam pemerintahan dan tugasnya sebagai "dokter". Di antara karya tulisan yang ia tinggalkan dan berpengaruh terhadap generasi-generasi sesudahnya adalah:

a.Al-Syifā', terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat yang mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika. Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya tentang pendidikan;
b.Al-Najāt, merupakan ringkasan dari al-Syifa' yang ditujukan kepada para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap;
c.Al-Qānūn fi al-Thibb (Canon of Medicine), berisikan tentang ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lain.
d.Al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt, berisikan uraian tentang logika dan hikmah.

Masih banyak karya-karya yang beliau tulis. Semua karyanya sekitar 250 karya yang diantaranya banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Karyaa-karya ini sebagian besar berbahasa Arab, tapi ada sebagian kecil di antaranya berbahasa Persia, seperti Danishnamah 'ala'i (Buku ilmu pengetahuan yang dipersembahkan kepada 'Ala al-Dawlah). Buku ini merupakan karya filsafat pertama di Persia Modern.

C. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Sina

1.Hakikat Manusia

Bebicara tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia. Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian halnya Ibn Sina, juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia. Bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibn Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa.
Secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya mesti dipelihara dalam kelangusungan hidup di dunia ini. Namun dalam kajian filsafat, unsur rohani atau jiwa mendapat perhatian lebih karena dianggap sebagai hakikat manusia yang sesungguhnya. Demikian halnya dengan Ibn Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji tentang organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama; demikian seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.16 Berlainan dengan al Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu:

1. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (Wajib al Wujud li ghairihi), dan
2. sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (Mumkin al Maujud li Dzatihi).

Dengan demikian, ada tiga obyek pemikirannya yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.

Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi Jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Hanya saja Ibn Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an. Adapun pembagian jiwa tersebut adalah:

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (Nabatiyyah) adalah daya yang terdapat dalam diri semua makhluk yang hidup atau yang bernyawa (tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia). Daya ini terbagi tiga macam, yaitu ghaziyab (makan); munmiyab (tumbuh); muwallidah (mereproduksi). Daya jiwa nabatiyah ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain.

2. Jiwa binatang (Hayawaniyyah), daya jiwa ini terdapat pada hewan dan manusia, tidak pada tumbuh-tumbuhan. Daya jiwa hayawaniyah terdiri dari dua macam, yakni:
a. Daya jiwa hayawaniyah muhrikah (menggerakkan) terbagi atas dua macam:
1) Muhrikah bā'itsah, ialah daya keinginan kecondongan yang mendorong lahirnya gerakan. Bā'itsah ini mempunyai dua macam yakni bā'itsah syahwiyah (kekuatan atau daya keinginan yang membangkitkan gerakan, untuk memperoleh kebutuhan) dan bā'itsah ghadlabiyah (daya keinginan yang membangkitkan gerakan untuk menghindari segala sesuatu yang memudlaratkan).
2) Muhrikah fā'ilah, ialah daya penggerak yang terdapat dalam urat-urat syaraf sampai bagian luar badan sehingga otot-otot melakukan gerakan sesuai dengan tuntutan daya-daya keinginan.
b. Daya jiwa hayawaniyah Mudrikab (menanggap), dengan dua bagian:
1) Mudrikah dari luar ialah jiwa menangkap dari penginderaan terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar.
2) Mudrikah dari dalam ialah daya jiwa hayawaniyah yang menangkap rangsangan yang datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri. Daya ini terbagi atas lima macam, yaitu: (a) Indra bersama (al-hiss al-musytarak), yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar; (b) Indra al-khayyal, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama; (c) Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayydl. (d) Indra wahmiyah (estimasi) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala. (e) Indra pemeliharaan (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.

3. Jiwa manusia (insaniyah), yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua daya, yaitu:
a. daya praktis {al-'amilat), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-'amilah disebut juga al-'aqlul 'amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia, dari seluruh binatang. Jika daya ini membirnbing daya-daya jiwa hayawaniyah serta dipengaruhi juga oleh aqlun nazhari (pikir teoritis) maka manusia akan hidup di atas keutarnaan, tetapi jika sebaliknya manusia akan hidup dalam kehinaan.
b. daya teoretis {al-'alimat) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'alimah disebut juga "aqlun nazhari". (akal intelegensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum yang di-tajrid-kan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan akal, yaitu.
1) Aqlun bil quwwab, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman-pengalaman. Aqlun bil quwwah ini dibagi tiga:
a) Al-Aqlu al-hayulani (akal material), yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b) Al-'Aqlu al-malakat, yaitu jiwa yang memperoleh perkara-perkara badihiyah (kebenaran aksioma) dengan ilharn ilahi tanpa melalui proses belajar, dia tidak pula lewat pengalaman indrawi. Contoh, keseluruhan lebih besar dari bagiannya, dua yang berlawanan tidak akan berkumpul.
c) Al-Aqlu bi al-fi'l, (akal aktual), yaitu bilamana jiwa memperoleh ilmu pengetahuan teoritis, namun dia tidak dalam keadaan sedang empelajarinya, tapi ilmu sudah siap padanya, kapan saja dia kehendaki dapat diketahuinya.
2) al-Aqlu al-Mustafad, yaitu akal yang muncul bilamana konsepsi rasional hadir pada akal itu, sedang dia dalam keadaan mengkajinya atau mempelajarinya. Perbedaan antara al-aql bi al-fi'li dengan al-aql al-mustafad adalah, umpamanya, seorang seniman pelukis, daya jiwanya pada waktu dia tidak dalam keadaan melukis, dan daya jiwanya pada waktu dia tenggelam dalam melukis (mustafad). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.

Dari tingkatan jiwa di atas, jiwa al-insaniyah adalah yang tertinggi. Sementara dalam jiwa al-insaniyah juga terdapat beberapa tingkatan akal, dari yang bersifat materil (hayulani) hingga kepada yang abstrak (mustafad). Untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia.

Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya, jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang maka orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya di akhirat.

Kemudian Ibn Sina juga membedakan antara jiwa dengan jasad. Berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Aristoteles, "jiwa adalah kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis", Ibn Sina mengganggap definisi itu tidak membedakan secara tegas antara jasad dengan jiwa. Bahkan pandangan Aristoteles mengisyaratkan adanya hubungan yang bersifat esensial antara keduanya dimana jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Bagi Ibn Sina, jiwa adalah "jauhar dari rohani". Ini menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi dari rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa kepada hancurnya roh (jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal adalah jiwa insaniyah dimana kelak akan mendapat pembalasana di akhirat, sementara jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hancur bersama hancurnya jasad. Dengan demikian, jiwa memiliki kedudukan amat penting dari pada jasad. Hal ini berimplikasi kepada konsepnya tentang pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa.

Meskipun demikian, antara jasad dengan jiwa juga memiliki hubungan yang erat dimana antara keduanya saling mempengaruhi dan membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa. Dengan kata lain jasad adalah syarat mutlak bagi adanya jiwa. Karenanya, manusia juga harus memelihara jasad sehingga dibutuhkan pula adanya pendidikan jasmani yang baik.

2. Tujuan Pendidikan

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Ibn Sina memandang bahwa manusia itu memiliki unsur jasmani dan jiwa (roh). Kemudian di dalam jiwa manusia terdapat beberapa tingkatan akal. Jadi, secara garis besar substansi manusia itu ada tiga, yaitu akal (intellect), jiwa (nafs), dan badan (jism).

Berangkat dari pandangan tersebut, Ibn Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti." Tampaknya tujuan ini bersifat universal.

Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan sese¬orang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.

Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.

Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan seorang anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiiiki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan pula dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya. Begitu pula tujuan pendidikan keterampilan, diharapkan bakat dan minat anak dapat berkembang secara optimal.

Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibn Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia yang meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'adah). Kebahagiaan menurut Ibn Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Mula-mula kebahagiaan secara individu harus dicapai dengan memiliki akhlak mulia. Lalu jika individu yang merupakan anggota keluarga berakhlak mulia, maka keluarga itu pun akan bahagia pula dengan akhlak mulia. Selanjutnya keluarga yang berakhlak mulia akan menghasilkan masyarakat yang berakhlak mulia sehingga suatu masyarakat tersebut akan memperoleh kebahagiaan.

Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih.

Menurut Hasan Langgulung, jika dilihat dari fungsinya, salah satu fungsi tujuan pendidikan adalah sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang terbagi pada tiga tahap, yaitu tujuan khusus (objectivies), tujuan umum (goals), dan tujuan akhir (aims). Apabila dikaitkan dengan rumusan tujuan pendidikan Ibn Sina di atas, maka tujuan akhir adalah "pengembangan akal". Sebab, bagi Ibn Sina akal (intellect) adalah puncak dari kajadian ini. Walaupun pakar-pakar pendidikan yang terkemudian memberi definisi yang berbeda dengan Ibn Sina ini, tetapi sebagian besar mereka setuju bahwa akal adalah satu-satunya keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk yang lain. Sementara tujuan yang bersifat khusus (objectiviesi) adalah mencari kerja untuk hidup. Tujuan ini juga bisa disebut tujuan vokasional yang termasuk dalam tujuan khusus. Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan tujuan pendidikan keterampilan sesuai dengan bakat minat anak, sebagaimana yang telah disinggung di atas.

Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah "mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sehingga memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperoleh kebahagiaan (sa'adah) dalam hidupnya."

Kemudian, jika dikaitkan antara tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa Ibn Sina telah merumuskan tujuan secara sistematis. Dalam istilah Abuddin Nata, tujuan pendi¬dikan Ibn Sina bersifat hirarkis-struktural. Artinya, di samping memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat uni¬versal (atau tujuan akhir) sebagaimana dikutip pada bagian pertama, juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat kurikuler atau perbidang studi dan tujuan yang bersifat operasional (atau dalam istilah Hasan Langgulung tujuan vokasional/tujuan khusus).

Hanya saja rumusan tujuan pendidikan Islam Ibn Sina, selain dari falsafahnya tentang hakikat manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan pemikiran-pemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibn Sina menghendaki orang lain bisa meneladani apa yang telah ia perbuat. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Ibn Sina juga bersifat teoritis-praktis.

3. Kurikulum

Kurikulum, dalam artian sempit, adalah seperangkat mata pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, ilmu apa saja yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik termasuk dalam kajian kurikulum.
Ibn Sina juga menyinggung tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh seorang anak didik. Abuddin Nata, dalam desertasinya yang membahas "Konsep Pendidikan Ibn Sina" menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibn Sina didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu fase 3-5 tahun, 6-14 tahun, dan di atas 14 tahun.

a. Usia 3 sampai 5 tahun

Menurut Ibn Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.

1) Olah raga sebagai pendidikan jasmani.

Ibn Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya mengenai pendidikan olah raga. Menurutnya ketentuan dalam berolahraga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Ia juga merinci olah raga mana saja yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian; dan mana pula olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sebagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini dise¬suaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan si anak.

Pelajaran olahraga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak serta berfungsinya organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat jasad/tubuh adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat. Mata pelajaran olah raga yang menginginkan kesehatan jasmani memang mendapat perhatian dari Ibn Sina, apalagi jika dihubungkan dengan keahliannnya di bidang ilmu kesehatan/kedokteran, tentu Ibn Sina memahami begitu pentingnya pelajaran oleh raga sebagai upaya untuk menjaga kesehatan jasmani.

2) Pelajaran akhlak/budi pekerti

Pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian si anak sehingga jiwanya menjadi suci, terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sukar diperbaiki kelak di usia dewasa. Dengan demikian, Ibn Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Pendidikan akhlak harus dimulai dari keluarga dengan keteladanan dan pembiasan secara berkelanjutan sehingga terbentuk karakter atau kepribadian yang baik bagi si anak.

3) Pendidikan kebersihan

Pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian Ibn Sina. Pendidikan ini diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam.

4) Pendidikan seni suara dan kesenian

Pendidikan seni suara dan ke¬senian diperlukan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang suka keindahan. Mengenai pelajaran kebersihan, Ibn Sina mengatakan, bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak tidur kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak di usia 3 – 5 tahun, menunjukkan bahwa Ibn Sina telah memandang penting pendidikan di usia dini. Hal ini relevan dengan konsep pendidikan modern yang dikenal dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan istilah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) lalu Taman Kanak-kanak (TK).

Hemat penulis, jika dilihat dari pelajaran yang perlu diterapkan di usia ini, tampaknya lebih menekankan pada aspek apektif. Pentingnya pendidikan kebersihan, seni suara, dan kesenian pada dasarnya bagian dari upaya pembinaan akhlak anak. Hal ini penting mengingat setiap pengalaman yang dilalui oleh anak di usia dini akan jelas berbekas dalam kepribadiannya kelak ketika dewasa.

b. Usia 6 sampai 14 tahun

Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menu¬rut Ibn Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olahraga.

1) Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran agama

Pelajaran al-Qur'an adalah pelajaran pertama dan yang paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya. Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibn Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendu¬kung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pela¬jaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lain-nya yang sumber utamanya adalah al-Qur'an. Efektivitas menghafal al-Qur'an di usia ini juga telah dibuktikan oleh Ibn Sina sendiri dimana ia telah hafal seluruhnya pada usia 10 tahun.
Selain itu pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai al-Qur'an berarti ia telah menguasai ribuan kosa kata bahasa Arab atau bahasa al-Qur'an. Dengan begitu pelajaran membaca al-Qur'an tampak bersifat strategis dan mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi Muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan Muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibn Sina sendiri. Sementara pelajaran agama harus lebih banyak diajarkan di usia ini, sebab pada usia ini anak telah mempu berpikir secara rasional sehingga dapat memahami dasar-dasar ajaran agama yang harus ia jalankan selaku seorang muslim.

2) Pelajaran keterampilan

Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional. Pentingnya pendidikan tersebut dinyatakan oleh Ibn Sina, seperti yang dikutip Hasan Langgulung:

"Setelah kanak-kanak diajar membaca al-Qur'an, menghafal dasar-dasar bahasa, barulah dilihat kepada pekerjaan yang akan dikerjakannya dan ia dibimbing ke arah itu, setelah gurunya tahu bahwa bukan semua pekerjaan yang diinginkannya bisa dibuatnya tetapi adalah yang sesuai dengan tabiatnya. jika ia ingin menjadi jurutulis (barnagkali sekarang boleh disebut kerani atau administrator) maka haruslah ia diajar surat menyurat, pidato, diskusi, dan perdebatan dan lain-lain lagi. Begitu juga ia perlu belajar berhitung dan mempelajari tulisan indah. Kalau dikehendaki yang lain maka ia disalurkan ke situ."

3) Pelajaran sya'ir

Pelajaran sya'ir tetap dibutuhkan di usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan akan sangat berguna dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah. Pelajaran ini dimulai dengan menceritakan syair-syair yangmenceritakan anak-anak yang glamour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah menceritakannya serta bait-baitnya lebih pendek. Kemudian Ibn Sina menolak ungkapan "seni adalah untuk seni", ia berpendapat bahwa seni dalam syair merupakan sarana pendidikan akhlak.

4) Pelajaran olah raga

Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibn Sina yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran ada¬lah olahraga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan si anak dan disuasaikan dengan tingkat perkembangannya.
Jika di usia 3-5 tahun lebih ditekankan pada aspek apektif atau pendidikan akhlak, maka di usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan di usia ini telah diajarkan al-Qur'an dengan membaca, menghafal bahkan memahami tata bahasanya. Dengan demikian, aspek apektif dan psikomotor sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini beralasan mengingat di usia ini otak peserta didik telah berkembang dan mulai mampu memahami persoalan yang abstrak.

c. Usia 14 tahun ke atas

Di usia 14 tahun ke atas, Ibn Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas, amat banyak jumlahnya, namun pela¬jaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibn Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya. Jadi, di usia ini telah diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu (takhashshush/spesialisasi).

Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Tampaknya pembagian ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibn Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang tentunya berdasarkan kepada ajaran Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:
1) ilmu yang bersifat teoritis meliputi:
a) ilmu tabi'i, yang disebutnya dengan ilmu yang paling bawah, yaitu mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;
b) ilmu matematika yang disebutnya dengan ilmu pertengahan, mencakup tentang ruang, bayang dan gerak, memikul beban, timbangan, pandangan dan cermin, dan ilmu memindahkan air;
c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi, yaitu menuntut derajat kebebasannya dari materi, yang mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu'jizat, berita gaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh setelah berpisah dengan badan.

2) ilmu yang bersifat praktis, meliputi:
a) ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang;
b) ilmu pengurusan rumah tangga, yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara suami dan istri, anak-anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga;
c) ilmu politik yang mengkaji tentang bagaimana hubungan antara rakyat dan pemerintah, kota dengan kota, serta bangsa dan bangsa. Ibn Sina juga menambahkan dalam ilmu politik ini tentang wujud kenabian dimana manusia perlu kepadanya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetapkan undang-undang dan syariat.

Pembagian ilmu praktikal ini juga hampir sama dengan pembagian Aristoteles. Tetapi Ibn Sina memberikian syari'at sebagai landasan yang amat penting dalam falsafah praktikal. Setelah pembagian ini ia menyatakan, "Semua itu hanya dapat terlaksana dengan pemikiran akal dan petunjuk syariat, sedangkan secara terperinci dengan syariat Ilahi". Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ibn Sina memandang penting antara akal dan wahyu dalam dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan juga harus menyusun kurikulum yang mendidik manusia agar memiliki akal sempurna berlandaskan kepada wahyu Ilahi.
Lebih rinci, Hasan Langgulung menulis klasifikasi ilmu menurut Ibn Sina sebagai berikut:

ILMU

Tidak Kekal Kekal Abadi (Hikmat)

Sebagai Tujuan Sebagai Alat: Logik

Teoritikal: Praktikal:
- Ilmu Tabi'i - Ilm Akhlak
- Ilmu Matematika - Ilmu Administrasi Rumah
- Ilmu Metafisika (Ketuhanan) - Ilmu Administrasi Kota
- Ilmu Kully (Universal) - Ilmu Nabi (Syariat)
Gambar: Klasifikasi Ilmu Menurut Ibn Sina

Dari uraian pemikiran Ibn Sina tentang kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak. Oleh karena itu, mengenal psikologi anak amat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal bakat minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu maka mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh anak didik.

Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potensi anak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Namun masing-masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing tingkat usia. Di usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara apektif, psikomotor dan kognitif. Sedangkan di usia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan keahlian yang ia mampu dan sukai. Artinya, diperlukan spesifikasi keilmuan sehingga ia ahli di bidang tertentu.

Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di masyarakat.

Keempat, kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang ditawarkan oleh Ibn Sina sejak usia kanak-kanak.

Kelima, kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibn Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak. Sedangkan perhatian Ibn Sina terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan bahwa ia memahami bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus terintegrasi antara iman, ilmu dan amal.

3. Metode

Ibn Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran. Pada dasarnya metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang satu dengan materi pelajaran yang lainnya. Artinya, pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan dengan karekteristik dari masing-masing materi pelajaran. Kemudian metode itu juga mempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak didik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode yang ditawarkannya. Menurut Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibn Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan. Kemudian Ali al-Jumbulati mengemukakan pula pemikiran Ibn Sina tentang metode dera dan hukuman.

a) Metode talqin
Metode talqin perlu digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur'an, mulai de¬ngan cara memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada anak di¬dik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal. Metode talqin ini menurut Ibn Sina dapat pula ditempuh dengan cara seorang guru meminta bantuan murid-murid yang sudah agak pandai untuk membimbing teman-temannya yang masih tertinggal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.

b) Metode demonstrasi
Menurut Ibn Sina, metode demonstrasi dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makh-rajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.

c) Metode pembiasaan dan keteladanan
Ibn Sina berpendapat bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak. Ia mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru" atau contoh tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara tabi'iyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang ia lihat dan ia rasakann serta yang didengarnya. Oleh karena itu, dalam pergaluan pun, anak diharapkan berinteraksi dengan anak-anak yang berakhlak baik pula.

d) Metode diskusi
Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibn Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoretis. Pengetahuan model ini pada masa Ibn Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pe¬ngetahuan tersebut.

e) Metode magang
Ibn Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibn Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari di ruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktek-kan teori tersebut di rumah sakit atau balai kesehatan. Metode ini akan menimbulkan manfaat ganda, yaitu di samping akan mempermahir siswa dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis. Dalam hal ini, guru harus mempersiapkan anak didiknya sebelum magang sehingga magang tersebut tidak merugikan pihak lain.

f) Metode penugasan
Metode penugasan ini pernah dilakukan oleh Ibn Sina dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan kepada salah seorang muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah at-ta'lim bi al-marasil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).

g) Metode targhib dan tarhib
Targhib, atau dalam pendidikan modern dikenal istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Ibn Sina juga memberikan perhatian pada metode ini. Menurutnya, memberi dorongan, memuji dan sebainya yang sesuai dengan situasi yang ada kadangkala lebih berpengaruh dan lebih dapat mewujudkan tujuan dari pada hukuman, sebab pujian dan dorongan dapat menghapus perasaan salah, berdosa dan menyesal.

Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhib) dapat dilakukan. Dalam hal ini Ali al-Jumbulati menjelaskan pemikiran Ibn Sina tentang hukuman ini:
Jika terpaks harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan meninddak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-kadang dipuji didorong keberaniannya untuk berbuat baik. Perbuatan demikian itu merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus.

Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang hukuman itu sebagai suatu yang remeh. menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.

Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa Ibn Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada empat karakteristik metode yang ditawarkan oleh Ibn Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran; kedua, metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak; ketiga, metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.

Tampaknya, karakter ini masih tetap relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu artinya Ibn Sina memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun secara praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku pada masanya, melainkan jauh melampaui masa tersebut.

4.Konsep Guru

Guru memiliki peran amat penting dalam pendidikan. Ibn Sina pun menuliskan beberapa pemikirannya tentang konsep guru, terutama yang menyangkut tentang guru yang baik. Menurutnya, guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Kemudian Ibn Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan ummat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.

Ibn Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, merubah budi pekerti dan kebebasannya dalam berfikir. Ia juga menekankan adanya perhatian yang seimbang antara aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat pemahaman; aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotorik) yang diwujudkan dalam pelajaran praktek.

Rumusan di atas menunjukkan bahwa Ibn Sina menginginkan seorang guru memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini penting, sebab jika guru tidak memiliki wawasan yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki kharismatik, tentulah anak didik kurang menyukainya. Jika hal itu terjadi, maka ilmu akan sulit didapat, meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.

D.Rekomendasi; Aktualisasi Pemikiran Ibn Sina dalam Pelaksanaan Pendikan Islam di Indonesia

Dari beberapa pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang menurut penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran Ibn Sina ini bisa menjadi pendidikan alternatif dalam mewujudkan pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibn Sina tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pentingnya pendidikan akhlak. Sebagaimana yang diuraikan di atas, pendidikan akhlak menjadi salah satu tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibn Sina. Pentingnya pendidikan akhlak ini juga tergambar dalam kurikulum yang ia tawarkan, serta metode dan sikap guru yang mengutamakan keteladanan di samping kompetensi keilmuan. Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas penting. Bahkan akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan Sistem Pendidikan Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003). Namun dalam tataran pelaksanaan pendidikan akhlak, tampaknya belum ditemukan formulasi yang tepat dan jelas. Padahal persoalan akhlak menjadi problema utama yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, perhatian tokoh dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia amat dibutuhkan untuk membangun karakter (caracter building) bangsa ini ke arah yang lebih bermartarbat dan terhormat.
Dalam beberapa literatur pendidikan Islam, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas utama. Salah seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey, seperi yang dikutip oleh Ali al-Jumbulati, melukiskan dalam bait syairnya:
إِنَّمَا اْلاُمَامُ اْلاَخْلاَقُ مَابَقِيَتْ - فَإِنَّ هُمُو ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
"Hanya saja suatu banga itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak. Namun jika akhlak mereka hilang, maka bangsa itu pun lenyap pula."
وَلَيْسَ بِعَامِرٍ بُنْيَانُ قَوْمٍ – اِذَا اَخْلاَقُهُمْ كَانَتْ خَرَابًا
Dan tidaklah mungkin suatu bangsa membangun suatu kaum jika akhlak mereka mengalami keruntuhan.

Perhatian itu hendaknya terwujud dalam kebijakan pendidikan, seperi rekuitmen guru harus mempertimbangkan kepribadiannya bukan hanya melalui tes tertulis secara kognitif, kurikulum yang diterapkan hendaknya berbasis akhlak, sekolah-sekolah yang melakukan kecurangan harus ditindak tegas, dan sebagainya. Selain itu perlu pula merubah paradigma dari pemahaman akhlak hanya tugas guru agama semata menjadi tugas semua guru, terutama guru yang beragama Islam secara bersama bertanggung jawab menerapkan pendidikan akhlak (sesuai tuntunan Islam).

Kedua, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibn Sina yang sering dikenal dunia internasional sebagai ahli di bidang kedokteran (termasuk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami benar tentang al-Qur'an. Bahkan di usia yang masih muda, sekitar 10 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur'an. Itu artinya al-Qur'an sangat menentukan keberhasilan Ibn Sina sebagai seorang ilmuan tiada tandingan di masanya. Tampaknya ia juga menyadari pengaruh al-Qur'an tersebut sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari al-Qur'an yang dimulai sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya di usia 6 sampai 14 tahun.

Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendidikan al-Qur'an kurang mendapat perhatian serius. Tingkat sekolah dasar, misalnya, masih lebih memfokuskan belajar baca tulis al-Qur'an, sementara di tingkat Madrasah al-Qur'an hanya menjadi salah satu pelajaran yang digabung dengan Hadis. Untuk itu orang tua harus mengajarkan al-Qur'an sejak dini kepada anaknya. Sementara pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an ke seluruh mata pelajaran, khususnya bagi MTs dan Madrasah Aliyah sebagai sekolah yang bercirikan Islam. Dalam hal ini, seluruh guru bidang studi perlu mendapat pelatihan dan pembinaan khusus untuk dapat mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an tersebut ke dalam pelajaran yang diasuhnya. Dengan upaya ini, diharapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Qur'an serta akan lahir generasi penerus Ibn Sina sebagai "ulama yang ilmuan, atau ilmuan yang ulama".

Ketiga, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs). Salah satu pemikiran penting Ibn Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa. Jika ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibn Sina nampaknya akan diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik sehingga memiliki tingkat jiwa yang tertinggi, yaitu al-aql al-mustafad. Penulis memahami bahwa konsep jiwa yang ditawarkannya telah mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan melebihi dari konsep itu.

Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi kepada kecerdasan jiwa tersebut. Salah satu di antaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafsiyah). Dengan jiwa yang suci, niscaya akan memudahkan anak didik menguasai berbagai ilmu yang dipelajarinya serta mudah pula dibina kepribadiannya. Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs) dapat mencerdaskan peserta didik sekaligus membentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Profil peserta didik seperti sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Keempat, membangun paradigma pendidikan nondikotomik, atau pendidikan integralistik. Dari beberapa pemikiran Ibn Sina di atas, bisa disimpulkan bahwa pendidikan yang diinginkan bersifat integral atau nondikotomik. Integralistik itu bisa dilihat antara jasad dan rohani, teoritis dan praktis, serta ilmu "umum" dengan "agama". Adanya paradigma integralistik atau nondikotomik telah membuat Ibn Sina sebagai seorang saintis sekaligus ulama terkemuka, paling tidak ke-ulama-annya dapat dilihat dari pemikiran filsafatnya serta penguasaannya terhadap ilmu al-Qur'an. Akhirnya, teori-teori yang dihasilkannya tetap berlandaskan kepada ajaran Islam.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan "pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini kerap kali menimbulkan paradigma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap beragama hanya urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibn Sina paradigma ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia indonesia yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan kebahagiaan hakiki.

E. Penutup

Dari uraian pemikiran pendidikan Ibn Sina di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1. Ibn Sina memandang manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani sebagai jauhar dari jiwa. Namun jiwa menempati peran penting bagi manusia, sebab jiwa dianggap kekal dan menentukan kualitas seseorang. Jiwa itu sendiri terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan jiwa manusia. Manusia harus mencapai tingkatan jiwa manusia yang memiliki akal secara aktif. Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan bagi manusia.
2. Kurikulum berupa materi pelajaran yang ditawarkan Ibn Sina dimulai sejak usia dini (3 – 5 tahun), lalu usia pertengahan (6 – 14 tahun), dan usia di atas 14 tahun. Masing-masing tingkatan usia tersebut memerlukan materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan/psikologis anak. Di usia dini lebih menekankan aspek apektif/akhlak, di usia remaja telah memperkanalkan berbagai ilmu-ilmu dasar, sementara di usia dewasa harus di arahkan kepada keahlian atau spesifikasi keilmuan sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum tersebut sudah bersifat hirarkis-sturuktural.
3. Ibn Sina juga mengemukakan beberapa metode pembelajaran yang harus mempertimbangkan aspek psikologis anak dan jenis materi pelajaran yang diberikan. Dalam penyajian metode ini, seorang guru harus memperhatikan pembinaan akhlak, baik akhlak guru sendiri sebagai teladan maupun perilaku anak didik yang harus diarahkan kepada yang baik. Oleh karena itu seorang guru selain dituntut untuk cerdas dan kompeten dalam bidangnya, juga dituntut memiliki akhlak yang mulia penuh kharisma sehingga menjadi teladan dan idola bagi anak didiknya.
4. Pemikiran-pemikiran Ibn Sina di atas membuktikan bahwa ia adalah seorang tokoh pendidikan Islam, di samping bidang-bidang lain yang dikuasainya. Oleh karena itu di antara pemikirannya patut dianalisis dan perlu dijadikan referensi dalam pengembangan pendidikan Islam saat ini. Dalam hal ini, ada beberapa pemikirannya yang patut dikembangkan dan diaktualisasikan karena dianggap relevan dengan kondisi pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, di antaranya: pendidikan diselenggarakan hendaklah berbasis akhlak, pendidikan al-Qur'an harus diterapkan selain sebagai pedoman hidup juga akan menjadi inspirasi dan motivasi untuk meraih prestasi, pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kepada pendidikan jiwa (al-tarbiyah al-nafsiyah) yang akan diharapkan mampu melahirkan peserta didik yang cerdas, beriman dan berakhlak mulia, serta perlu membangun paradigma pendidikan nondikotomik.

EPISTEMOLOGI USHUL FIQH

A. Chozin Nasuha

Guru Besar pada Fakultas Syari’ah

Ketua Konsentrasi Studi Al-Qur’an Pascasarjana UIN Bandung

Pembukaan

Agama (al-dien) adalah ide murni, atau system ide dan kepercayaan yang bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat. Karena itu, Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Dengan kata lain, kita harus membedakan antara Agama dan pemikiran Agama. Salah satu pemikiran Agama adalah Ushul-Fiqh. Ilmu metodologi ini memiliki susunan yang pada umumnya terjadi kontroversi antara proposisi-proposisi dengan logika dan bahasa. Meskipun begitu, secara ontologis ilmu ini dapat dikelompokkan menjadi empat point yaitu (1) nilai-nilai aturan hokum (2) dasar-dasar aturan hokum (al-adillah al-syar’iah) (3) cara atau metoda menganalogikan dalil menjadi hokum, dan (4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif, dan tarjih.

Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini, setelah kita mengajukan pertanyaan. Di sini kita memerlukan jawaban yang benar, dan bukan debat kusir atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita mencari jawaban yang benar? Masalah ini, oleh kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan epistemo-logi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan kata lain, metoda ilmiah adalah cara yang dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan yang oleh filsafat ilmu disebut teori kebenaran.

Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya, epistemology ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita harus mengaitkannya dengan ontology, dan aksiologi. Tetapi dalam tulisan ini, kita hanya membahas tentang epistemology, dan itu pun memakai kerangka berfikir penelitian ilmu social.

1. Pendekatan Humanistik

Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif atau subjektif. Demikian karena banyak sekali materi fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh, beda pendapat antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Cara berfikir ushuliyun selalu memakai pendekatan kwalitatif, maka oleh sebagian ilmuan dianggap tidak objektif. Berbeda dengan paradigma ilmu yang memakai pendekatan kwantitatif, yang serba ilmiah dan terkontrol. Hal ini diakui oleh ushuliyun sendiri, dan tidak akan menolak.

Memang kerja ushul-fiqh sedikit mengabaikan prinsip objektifitas, jika istilah objektif sebagai aturan ilmu yang harus terukur, ada keberulangan, dan perilaku yang dapat diramalkan. Hampir semua ushuliyun tidak berfikir seperti itu, karena ushul-fiqh berhubungan dengan perilaku manusia (af’al mukallafin), maka subjektivitas tetap memiliki peran tersendiri. Ushul-fiqh yang selalu menekankan pada pendekatan subjektivitas, biasanya disebut studi humanistik. Paham ini berpandangan bahwa fiqh yang dikelola oleh ushul-fiqh bukan harga mati, tetapi wilayah interpretative.

Menurut pandangan ahli-ahli rasional, teratur, atau sistematik, perilaku manusia bersifat kontektual berdasarkan makna yang diberikan di lingkungannya. Kalau ilmu di luar humaniora lebih ditekankan pada ‘kedisiplinan’, humaniora justru kearah interpretasi alternatif. Posisi ilmu humaniora, termasuk ushul-fiqh adalah pada ‘siapa’ dan menentukan ‘apa yang dilihat’. Menurut paham ini realitas perbuatan manusia termasuk fenomena yang cair dan mudah berubah. Fenomena ini bersifat polisemik yang memerlukan penafsiran. Jadi kerja ushul-fiqh selalu bergerak pada ‘koma-koma’ bukan berhenti pada satu titik.

Persoalan objective ilmiah dan subjektivitas tidak ilmiah, memang telah lama ditujukan pada semua ilmu agama, termasuk ushul-fiqh. Apalagi ilmu ini menyajikan penafsiran dan hermeunitika. Tentu saja penafsiran semacam ini keberatan jika dikait-kan dengan penilaian objektif dan subjektif. Tetapi muncullah beberapa tokoh sosio-log yang mengatakan bahwa objektivitas itu hanya berlaku bagi ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu agama memiliki kateristik tersendiri. Karena itu subjektivitas interpre-ter yang sering memasukkan resepsi, kepekaan, akal sehat, dan pendapat yang terbuka, mestinya tidak harus sama persis dengan “self-understanding”. Itulah maka objektivitas dalam ilmu social, ilmu budaya, termasuk ushul-fiqh tidak bisa absolut.

Ketika ushul-fiqh dianggap sebagai karya pemikiran dalam Islam (tsaqafah Islamiah), muncullah dilematis apakah ushul-fiqh itu sebagai ilmu atau sebagai seni berdebat. Begitu pula ketika para ilmuan melihat perdebatan dalam Islam antara ahli hadits dan ahli rakyu, dalam memecahkan konsep syari’ah, mereka bertanya, apakah ushul-fiqh itu Agama atau ilmu agama. Kalau ushul-fiqh dipandang sebagai Agama, (bukan ilmu agama) lalu sampai dimana kita memperlakukannya sebagi sumber data untuk membangun teori yang dianggap objective. Kenyataan ini membutuhkan kesadaran baru yang menjadi ciri postmodernisme. Yaitu bahwa representasi, suatu penyajian dalam perbandingan mazhab misalnya, tentang suatu aliran ushul-fiqh, pada dasarnya tidak pernah menyajikan gambaran sebagaimana adanya. Penyajian atau uraian itu telah dibungkus dalam kemasan tertentu. Ushul-fiqh sebagai teks tidak bisa diuraikan apa adanya tetapi mengalami ‘distorsi’ tertentu setelah melalui proses penafsiran (syarah).

Ushul-fiqh selalu muncul dalam kerangka berfikir tertentu dan tidak bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam penyajiannya selalu muncul nilai subjektivitas di dalamnya. Karena itu, meskipun mulanya ushul-fiqh itu gagasan al-Syafi’iy untuk membangun mazhabnya, tetapi dalam perkembangannya, mucullah Ushl-fiqh Zaidiyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Ushul-Fiqh Syi’ah, Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri, dan sebagainya. Lalu apa artinya kebenaran ilmiah ? Kebenaran ilmiah bersifat relatif, kondisional, dan tergantung konsensus atau kesepakatan. Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu soasial atau budaya termasuk ushul-fiqh. Karena itu, setiap ushuliyyun harus siap menerima kritik atas kekurang tepatan analisanya. Dalam kaitan ini, Abdulwahhab al-Sya’rani berkata : Mazhab kami adalah benar, tetapi mungkin juga salah. Mazhab di luar kami adalah salah, tetapi mungkin juga benar. Demikian ini tertuang dalam kitab klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka nilai pluralis ini termasuk ciri postmodernism.

Perkembangan selanjutnya, bahwa ahli-ahli perbandingan mazhab dapat menyusun kesadaran ‘subjektivitas’ yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biog-rafi individu (tokoh).

Dalam konteks modernis yang kaku, ushuliyyun berpandangan harus objektif, memiliki otoritas, netral dari mazhab, dan selalu mengolah teks dengan objektif. Padahal fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh selalu berubah karena perubahan waktu dan tempat, akibatnya makna teks bisa plural dan bisa berkembang. Jadi pemikiran semacam itu harus ditata ulang kalau dia akan mempelajari ilmu ushul-fiqh.

Memahami pendapat tokoh memang sangat menarik, sama seperti menariknya mempelajari perbedaan subjective dan objective bagi orang yang berpendapat dan pendukung. Permasalahan ini akan terkait pula dengan soal ilmiah atau tidak ilmiah, ilmuan atau propagandis, akademis atau idiologis, dan begitulah seterusnya. Padahal uraian yang dinilai seperti itu tergantung bagaimana tokoh itu menguraikan.

Pada waktu positivisme menjadi idola setiap ilmuan, semua pemikiran yang tidak objective dinilai lemah, termasuk kerangka kerja ushul-fiqh. Tetapi setelah muncul strukturalisme, dan teori ini bisa diterapkan pada penggalian fiqih yang ijtihadnya ditata rapih, maka bisa ditemukan objektivitas. Terutama jika strukturalis itu berupaya menemukan masalah penting dalam setiap uraian fiqh yang disajikan, seperti kesimpulan: lebih manfaat, lebih maslahat, lebih adil dan semacamnya. Lebih lagi jika semua itu tidak terjebak pada alam khayal realis, melainkan selalu berpegang pada bahasa sebagai alat pemikiran.

Disitu jelaslah bahwa ushul-fiqh yang bisa dipandang bernilai subjective, tidak ilmiah, terlalu keagama-agamaan itu sebenarnya tidak benar. Disiplin ilmu ushul-fiqh tetap mengedepankan aspek kebenaran tertentu sejalan dengan tujuan, metoda, hubungan antara dalil dan mad-lul, dan analisis yang berwawasan lain dengan pendekatan objective. Perbedaan ini tidak berarti bahwa kerja ushul-fiqh itu hanya asal-asalan, melainkan berusaha memahami fenomena liwat subjective yang tidak mungkin terfahami melalui objektivitas.

Mushawwibah dan Mukhaththiah

Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpilan yang banyak itu, yang benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada nilai kontradiktif.

Penilaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective dan paradigma kwalitative. Penalaran semacam ini kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran.

Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda dengan metoda penelitian ilmu social atau ilmu budaya. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam logika yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran itu. Tetapi tidak semuanya relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam logika itu antara lain : (a) logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi transferabilitas. (b) logika matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk ilmu agama yang penganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa berkembang sampai laduni. (d) logika kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.

Dari macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kwalitatif banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.

Dari segi lain, logika kwalitatif biasanya dipergunakan untuk lingkup kebenaran yang terbatas. Artinya, kebenaran yang dicapai bukan sebuah wacana yang berlaku universal, melainkan hanya pada tingkat local, atau kasus tertentu saja. Karena itu, kebenaran kwalitatif bersifat lebih spesifik dan tidak menghendaki adanya regualitas. Oleh karena itu teks atau kasus yang dikelola memakai logika kwalitatif akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti kebenaran semacam itu lemah, tetapi tetap menggunakan dalil berdasarkan realitas. Itulah suatu fenomena yang oleh Islam disebut rahmatan lil’alamin.

Dulu, penelitian ilmu social dan ilmu budaya diarahkan pada pemikiran objektif dan matematis. Tetapi setelah mereka mulai meninggalkan logika tradisi, dan ingin mencari kebenaran baru yang lebih orisinil, mereka mengejar perkembangan yang disebut postmodernisme. Kalau perkembangan ilmu itu seperti itu, maka akan berte-mu dengan ushul-fiqh yang kebenarannya didasarkan pada argumentasi, imajinasi, dan common sense (akal sehat).

Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih), dan menganut hokum probabilitas (ijtihadiah). Titik tolak ushuliyun semacam itu adalah kebenaran kreatif cerdas, dan tidak menyalahkan orang lain seperti meng-hakimi salah, bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun seperti itu tidak disetujui oleh agamawan yang taat pada kebenaran matematis.Di antara mereka ada yang berkata : Allah itu satu. Nabi Muhammad itu satu, dan Al-Qur’an juga satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun satu pula (bersatu). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan mampu mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang teradopsi oleh ilmuan yang selalu berfikir global.

Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu tuntutan kebenaran dan atau objek-tivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati, terulang, dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objective apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang diproduksi melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima oleh masyarakat, berarti dalam ushul-fiqh tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran.

Jadi kalau kebenaran ilmuan objective lebih menyukai penjelasan logis, maka ushul-fiqh menyajikan penjelasan yang berisi penafsiran. Kalau kebenaran objective ingin melihat pembakuan pengamatan yang teratur, maka penglolaan ushul-fiqh bersifat humanistic yang kreatif. Dengan kata lain kebenaran ushul-fiqh lebih menitik beratkan pada aspek humanistic kemanusiaan. Itulah sebabnya, ushul fiqh dinilai unik yang memandang bahwa perilaku manusia satu sama lain tidak selalu sama. Dengan demikian, orang yang berpendapat bahwa Ushul-fiqh al-Syafi’iy itu mirip dengan Manthiq Plato atau Aristotales, itu tidak benar. Karena kebenaran Manthiq memiliki hubungan kausalitas yang jelas dan harus relasional yang memungkinkan kontrol proposisi. Sedangkan kebenaran Ushul-Fiqh ditekankan pada penafsiran logic yang kadang-kadang bercampur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Oleh karena itu, melalui penafsiran semacam ini, Ushul-Fqh lebih mampu memasuki sisi-sisi perso-alan hukum yang berkaitan dengan perilaku umat (af’al al-mukallafin).

Lebih dari itu, kebenaran ushul-fiqh bukan hal yang dirancang ada, tetapi harus dicari dalam konteks. Ushuliyun hanya bertugas menghimpun, mengorganisasi, mengklasifikasi, dan menglola dalil-dalil fiqhiyah untuk keperluan fiqih.

Ushul-fiqh aliran Rakyu dan aliran Mutakallimin

Penerapan ushul-fiqh sering direpotkan ketika ushuliyun akan membuat fiqh, terutama ketika mencari bentuk aliran, apakah ushul-fiqh aliran rakyu atau aliran mutakallimin. Dua aliran ini, secara etimologis memang bertolak belakang. Keduanya memiliki implikasi metodologis yang berbeda. Padahal keduanya sama-sama dimanfaatkan oleh imam-imam mujtahid.

Rakyu adalah aliran dalam ushul-fiqh yang teori-teorinya dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk. Artinya, mujtahid ini mengamati perilaku orang-orang mukallaf yang ada pada masyarakat, kemudian dia memproduk fiqh secara induktif. Setelah itu disusunlah ushul-fiqh untuk dasar-dasar pengembangannya, di samping kaidah fiqhnya juga. Karena itu, uruf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan istihsan di-ambil sebagai dasar hukum fiqh. Ushul-fiqh aliran ini dipakai oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mu’tazilah. Dalil-dalil ini, biasanya dirumuskan berdasarkan istiqra (penelitian) untuk mencari bentuk fiqh.

Sebaliknya, jika mujtahid itu menyusun ushul-fiqh dulu, kemudian memproduki fiqh berdasarkan ushul-fiqh tadi, berati ushul fiqh ini disebut aliran mutakallimin. Aliran ini berfikir deduktif, dengan menyesuaikan perilaku umat (af’al al-mukallafin), kepada teori-teori ushul-fiqh tadi. Aliran ini dipakai antara lain oleh Mazhab Syafi’iy, Mazhab Hanbali, Mazhab Zhahiri, dan Mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah. Aliran ini tidak mau memakai ‘uruf, mashalih al-mursalah, dan istihsan, karena semua dalil ini bisa bertentangan dengan qiyas ‘am. Aliran ini, tambahan dalil pokoknya adalah istish-hab, yaitu dalil yang memandang persoalan hokum, selama tidak ada dalil yang mengubah maka tetap berlaku sampai sekarang dan masa depan.

Ushul fiqh model ini agak sempit dan seperti membatasi diri pada kondisi lapangan tertentu, terutama jika kita melihat perkembangan kehidupan yang cepat berubah. Akibatnya, teori-teori ushul-fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar (al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas) dan beberapa dalil yang berorientasi ke belakang seperti istishhab, dan syara’ man qablana. Dengan kata lain, ada kelemahan bagi aliran ini, yaitu kurang menghargai fenomena dan realitas. Berbeda dengan aliran rakyu yang menggunakan dalil ‘uruf dan istihsan, bisa masuk ke dalam rangka (a) Ushuliyun bisa mengolah semua permasalahan yang muncul di tengah masyara-kat, dengan teori-teori ushul-fiqhnya. (b) Ushuliyun bisa berhubungan langsung secara akrab dengan masyarakat yang memakai mazhab tertentu (c) Ushuliyun dapat menguraikan latar belakang secara penuh, sehingga uraian fiqhnya bisa mengangkat dalil-dalil kulli dengan meninggalkan dalil juz’iy yang sama-sama zhanni.

2. Pendekatan Emik dan Etik

Ada dua cara pandang (pendekatan) yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini disebut pendekatan emik (fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini muncul dari istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam Kitab Klasik, teori ini pernah dikembangan oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani. Menurut Ja’far Dikki, teori Ibn Jinni dan teori Al-Jurjani saling melengkapi untuk membangun teori linguistik yang baru. Penggabungan dua teori tersebut adalah (a) Penggabungan antara studi diakronik Al-Jurjani dan singkronik Ibn Jinni merupakan hal yang signifikan (b) Teori Ibn Jinni yang mengatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika, tetapi berproses, dan teori Al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan pertumbuhan pemikiran, merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Teori dua tokoh tadi mengembangkan aliran linguistik Abu Ali al-Farisi, yang kateristik umumnya adalah (a) Bahasa pada dasarnya terbetuk secara system. (b) Bahasa merupakan fenomena social dan strukturnya terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut. (c) Adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Dari segi lain, ahli-ahli linguistik mempelajari kamus Maqayis al-Lughat karya Ibn Faris. Tokoh ini meng-embangakan teori gurunya, yaitu Sa’lab yang membedakan antara kata benda sebagai subjek (ism dzat) dan kata benda sebagai sifat (ism shifat). Tampaknya, dari teori semacam inilah muncul gagasan tentang emik dan etik untuk mengembangkan ilmu sosial dan ilmu budaya, dan sekarang dicoba untuk mengembangkan ushul-fiqh.

Secara epistemologis, pendekatan etik dan emik memiliki implikasi yang berbe-da. Jika ushuliyun berusaha mengembangkan ushul-fiqh menurut mazhab universal dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan sebelumnya, maka cara ini, oleh teori linguistik disebut etik. Sebaliknya, jika pengembangan ushul-fiqh itu berdasar-kan mazhab regional (mazhab Syafi’iy saja misalnya) maka berarti ushuliyun telah mengembangkan ushul-fiqh dengan pendekatan emik. Bagi ushuliyun bisa juga menggunakan salah satu pendekatan, dan atau menggunakan keduanya. Yang penting mereka memperhatikan konsistensi pemanfaatan keduanya, agar tidak terjadi campur aduk. Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan masing-masing dan sekaligus memiliki kekuatan tertentu.

Menurut Marvin Harris, istilah etik dan emik akan berhubungan dengan masalah objektif dan subjektif. Etik bersifat sangat tertutup dalam hal makna, seperti prinsip objektif. Tetapi emik tidak bisa disejajarkan dengan subjektif saja tetapi bisa juga disejajarkan dengan objektif dan subjektif sekali gus. Kalau teori ini diterapkan pada ushul-fiqh universal dan ushul-fiqh regional, maka bisa berhubungan dengan objektif dan subjektif dalam penerapan. Artinya, jika dalam ushul-fiqh tadi ushuliyun mengo-lah dalil normative (tsk al-Qur’an dan teks al-Hadits), maka bisa menemukan objektif dan subjektif. Tetapi jika mereka mengolah dalil metodologis seperti istihsan maka dia akan terjadi subjektif. Jadi perbedaan antara objektif dan subjektif dan penyebutan ushul-fiqh regional dan universal, tergantung penggunaannya.

Jelasnya, pendekatan etik dan emik merupakan landasan norma pengembangan penelitian yang berusaha memahami tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut penuh dengan makna, karena di dalamnya terdapat aneka macam symbol aksi. Begitu pula ushul-fiqh yang mengambil istilah mazhab regional dan mazhab universal, meru-pakan landasan pengembangan ushul-fiqh itu sendiri, yang berusaha memahami tingkah laku manusia (af’al al-mukallafin). Tingkah laku ini penuh dengan makna (penilaian), karena di dalamnya terdapat berbagai aksi (akidah, niat, ucapan, gerakan dan perbuatan).

Pendekatan mazhab regional dan mazhab universal pada dasarnya merefer pada sudut pengembangan ushul fiqh itu sendiri. Jika ushuliyun itu mendasarkan pengem-bangannya pada mazhabnya sendiri, berarti dia mengembangkan ushul-fiqh regional. Dan jika dia menggunakan sudut pandang beberapa mazhab, berarti dia menggunakan ushul-fiqh akurat apabila dia mampu menangkap persamaan dan perbedaan pendapat beberapa tokohnya, selanjutnya dikategorikan dan dicari signifikasi teori secara penuh. Berarti pengambilan mazhab regional lebih memperhatikan teori yang lebih aspiratif. Sebaliknya, pemaparan ushul-fiqh universal lebih tergantung pada kejelian ushuliyun itu sendiri, dalam menampilkan suatu teori secara ilmiah.

Jika ushuliyun itu pengembangannya memilih ushul-fiqh mazhab universal, pada akhirnya dia harus melakukan generalisasi. Pada saat itu dia harus melakukan beberapa hal. (a) dia harus mengelompokkan secara sistematis seluruh pendapat atau teori ushul-fiqh yang ada, ke dalam system tunggal. (b) dia menyediakan ukuran atau kriteria untuk klasifikasi setiap dalil yang menunjang teori-teori ushul-fiqhnya. (c) dia mengorganisasikan teori yang telah diklasifikasikan ke dalam type-type tertentu. (d) menganalisa, menemukan, dan menguraikan setiap teori (qaul) dan argumentasinya ke dalam kerangka system yang telah dibuat, sebelum dia mempelajari ushul-fiqh.

Sebaliknya, pendekatan ushul-fiqh mazhab regional termasuk ushul-fiqh mazhabnya sendiri, merupakan esensi yang shahih untuk fenomena fiqh pada suatu waktu tertentu. Pendekatan ini relevan sebagai usaha untuk mengungkap pola-pola fiqh menurut persepsi mazhabnya. Pendekatan ini menegaskan bahwa konsepnya muncul dari ushuliyun sendiri. Berbeda dengan pengembangan ushul-fiqh universal, ushuliyun berdiri di luar mazhabnya sendiri. Pendekatan pertama (regional) akan terkait dengan keseluruhan teori mazhabnya, dan akan menekankan pada kenisbian. Pendekatan ini lebih natural dalam mereprosentasikan teori ushul-fiqh dan sejalan dengan konsep ushul-fiqh secara operasional. Sedangkan ushul-fiqh universal ditekankan pada sikap mutlak. Dari satu segi, pendekatan ini kurang natural, dan sejajar dengan teori ushul-fiqh secara kognitif.

Jika kedua pendekatan itu diperbandingkan maka akan tergambar dalam karakte-ristik sebagai berikut.

Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) yang mengikuti mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun hanya mempelajari ushul-fiqh dari mazhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al-Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh beberapa tokoh mazhab itu. (c) Struktur ushul-fiqh diten-tukan oleh kondisi dan situasi jama’ah yang mengamalkan fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat relatif dan terbatas.

Sedangkan ushul-fiqh universal adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dari luar mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun akan mempelajari ushul-fiqh dari berbagai mazhab dan membandingkannya satu sama lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyun itu sendiri dengan membangun konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat mutlak, ada generalisasi dan berlaku universal.

Dari karakteristik seperti itu, tampak bahwa ushuliyun regional akan menjadikan dirinya sebagai bagian utuh dari mazhab itu. Ushuliyun ini ikut merasakan dan bertindak sebagai partisipan penuh. Kehadiran ushuliyun seperti ini menentukan ke-berhasilan. Tentu saja subjektivitas pun tetap sulit dihindarkan. Apalagi ushuliyun tadi pendukung mazhabnya. Jika dia tidak mampu mengambil jarak, bisa terjadi bias. Sedangkan pengembang ushul-fiqh universal, otoritas ushuliyun sangat menentukan. Kemampuan mereka membangun konsep yang akan diterapkan, amat menentukan keberhasilan.

3. Pendekatan Positivistis dan Naturalistis

Dulu, gagasan positivistic itu dicetuskan oleh Ibn Taymia. Tetapi karena ia wafat dalam tahanan dan buku-bukunya baru beredar setelah lima ratus tahun, maka gagasan semacam itu mandeg, kata Nurcholis Madjid. Setelah muncul falsafat Agust Comte (1798-1875) dan tulisan Emil Durkheim (1858-1917) banyak ilmuan yang mengambil falsafat ini sebagai pendekatan penelitian. Filsafat ini berfikir statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan faham ini sering manganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Begitu pula Ibn Taymia mengembangkan pemikiran tekstualis, realistis, dan tidak menerima ta’wil. Ia juga tidak menerima berfikir teologis, terutama pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dalam kitabnya, Al-Radd ‘alal Manthiqiyin, Ibn Taymia menolak berfikir falsafati yang membuat konsep-konsep yang abstrak dan subjektif. Dalam kitab itu, tulisan yang berfikir manthiqi seperti konsep definisi, silogisme dan lain-lain ditolak, yang kadang-kadang dikuatkan dengan menampilkan dalil al-Qur’an. Terhadap pemikiran tasawwuf falsafi, seperti pemikiran al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, dan Ibn Arabi, semua itu berfikir subjektif dan khayalis, bahkan semua itu dinilai ‘kafir’. Dengan kata lain positifistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.

Dalam pandangan Durkheim, dasar pendekatan positivistic adalah logika mate-matis yang penuh teori logika deduktif. Kevalidan karya positivisme dengan cara mengandalkan fakta empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Kalau konsep semacam ini diterapkan pada pemikiran Ibn Taymia, maka ada dua dasar, yaitu (a) teks al-Qur’an dan teks al-Hadits dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang diluar teks adalah sebagai dunia yang gelap. Maka untuk mengetahui yang gelap itu, ilmuan harus masuk pada tingkat hakikat, yaitu makna empirik (tektualis), bukan ta’-wil atau kinayah dan sebagianya. (b) teks tidak dipandang sebagai pusat, tetapi sebagi satu titik dari deretan titik yang disebut kenyataan. Karena kedudukan seperti ini, maka teks tidak harus mengetahui hukum (yang gelap) yang berlaku pada dunia sekitar, tetapi yang gelap-gelap itulah yang lebih menserasikan diri dengan teks.

Biasanya, positivistic lebih menekankan pembahasan singkat dan menolak pem-bahasan yang penuh deskripsi cerita, atau ta’wil, dalam istilah Ibn Taymia. Karena itu, jika ushuliyun akan menggunakan positivistic, otomatis harus membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi mazhab yang meng-amalkan ushul-fiqh itu. Ushuliyun lebih banyak berfikir induktif agar menghasilkan sebuah verifikatif sebuah bentuk ushul-fiqh yang ingin dibangun.

Ciri-ciri positivistic dapat dilihat dari tiga pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontolo-gis, positivistic menghendaki bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dapat di-pelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari subjek lain, dan dapat dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap peng-amalan fiqh dalam masyarakat. (c) secara aksiologis, menghendaki agar pengem-bangan ushul-fiqh bebas nilai. Artinya, ushuliyun dalam menyusun ushul-fiqhnya mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat.

Positivistik berbeda dengan naturalistic yang cenderung mengungkapkan peng-amalan fiqh di suatu tempat. Paham ini dipengaruhi oleh teknik berfikir induktif un-tuk mermperoleh ushul-fiqh yang diambil dari pengamalan fiqh di daerah itu. Demikian ini difahami melalui analisis yang netral atau lingkungan alamiah dalam mazhabnya. Dengan kata lain, ushul-fiqh yang dipelajari dengan pendekatan naturalistrik adalah ushul-fiqh yang berangkat dari realita komunitas mazhab fiqh yang diamalkan oleh masyarakat itu.

Posisi ushuliyun yang mempelajari fiqh dengan pendekatan ini seperti orang asing yang belum tahu gambaran ushul-fiqh yang bisa dirumuskan dari daerah itu. Oleh karena itu, di samping dia mempelajari dan mengamati masyarakat, dia juga mengadakan pemetaan lokasi dan merekam apa yang terjadi pada mazhab itu. Ada sebagian ilmuan yang mengatakan bahwa ushuliyun yang mempelajari norma-norma ushul-fiqh di suatu daerah dengan pendekatan ini sama seperti mengguanakan metoda fenomenologi.

Selain menggunakan instrumen perilaku umat (af’al al-mukallafin), pendekatan naturalistic juga memiliki cirri, antara lain (a) realitas umat dapat dipisahkan dari konteksnya, dan tidak selamanya mereka berada dalam konteks itu. (b) penggunaan pengetahuan yang tersembunyi seperti intuisi, itu bisa dibenarkan, karena interaksi manusia pun sering demikian. (c) rancangan ushul-fiqh yang dinegosiasikan adalah penting karena konstruksi mazhab itu akan dikonstruksi oleh ushuliyun yang sedang mencari ushul-fiqh itu. (d) rumusan ushul-fiqh bersifat ideografis atau berlaku khusus bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi. Karena interpretasi yang berbeda akan lebih bermanfaat bagi realitas yang berbeda pula, karena perbedaan konteksnya. (e) gambaran ushul-fiqh bersifat tentatis, dan belum tentu bisa digeneralisasikan.

Dari cirri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa penulisan ushul-fiqh dengan pen-dekatan naturalistic adalah lebih membumi. Ushul-fiqh model ini akan mampu memecahkan perilaku umat yang dipelajari, dan bisa membantu keinginan tokoh-tokoh yang menyajikan Mazhab Jogja, atau Fiqh Indonesia, dan sebagainya.

4. Pendekatan Fenomenologis

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa positivisme memerlukan penyusu-nan teori. Sedangkan fenomenologi justru tidak menunggu-nunggu teori bahkan alergi dengan teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas peng-amalan fiqh di tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografis yang menitik beratkan pada pilihan dan pandangan pegangan mazhab setempat. Realitas adalah lebih penting dan dominan dibanding teori dan rerata.

Fenomenologi berusaha memahami pengamalan mazhab liwat pandangan dan perilaku pengamal mazhab itu. Menurut faham fenomenologi, ilmu bukanlah bebas nilai dari apa pun, tetapi memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma fenomenologis adalah (a) kenyataan ada dalam diri manusia, baik selaku individu atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau ganda yang tersusun secara kompleks. Oleh karena itu pengamalan mazhab Syafi’iy atau mazhab Hanafi atau lainnya yang tersebar di bebe-rapa kawasan, hanya bisa dipelajari secara holistic dan tidak terlepas-lepas. (b) hubungan antara ushuliyun dengan pengikut mazhab di daerah itu saling mempenga-ruhi, mungkin karena diskusi atau saling memberikan komentar.(c) lebih mengarah kepada kasus-kasus fiqhiyah bukan untuk menggeneralisasi karangan atau materi untuk ushul-fiqhnya. (d) ushuliyun akan kesulitan dalam membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan, (e) inkuiri terkait nilai, bukan bebas nilai, sebagaimana disebutkan di atas.

Fenomenologi merupakan istilah generic yang merujuk kepada semua pandangan ilmu social yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan social. Dalam pandangan ushul-fiqh, pandangan subjektif dari pengikut mazhab yang dikembangkan ushul-fiqhnya, sangat diperlukan. Subjektivitas akan menjadi shahih apabila ada proses intersubjektivitas antara ushuliyun dengan pengikut mazhab yang dipelajari ushul-fiqhnya itu.

Dalam pengembangan ushul-fiqh, pendekatan fenomenologi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pende-finisian konsep fiqh atau ushul-fiqhnya, termasuk pendefinisian tafsir al-Qur’an atau ilmu budaya lainnya. Dalam fenomenologi, objek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup juga fenomena berikutnya yang terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan si subjek yang menuntut pendekatan holistic, menundukkan objek pengembangan ushul-fiqh dalam suatu konstruksi ganda melihat objeknya dalam satu konteks netral, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logic dari pada sekedar linier kausal. Tujuan pengembangan ushul-fiqh dengan pendekatan fenomenologi adalah untuk membangun ilmu-ilmu agama, termasuk ushul-fiqh itu sendiri.

Metoda kwalitatif fenomenologi, berdasarkan pada empat kebenaran, yaitu kebe-naran empirik sensual, kebenaran empirik logic, kebenaran empirik etik, dan kebenar-an empirik transenden. Atas dasar cara pencapaian kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara ushuliyun dengan masyarakat pengamal mazhab. Keterlibatan ushuliyun dengan umat yang dikembangkan ushul-fiqhnya itu menjadi salah satu cirri utama.

Pendekatan fenomenologi berusaha memahami arti pengamalan fiqh dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Ilmuan fenomenologi tidak berasumsi bahwa mereka mengetahui makna tindakan bagi orang-orang yang sedang dipejalari. Oleh karena itu inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang dipelajari. Yang ditekankan adalah aspek subjek (pengamal fiqh) dari perilakunya. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subjek yang dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.

Mulanya ilmuan tahu dari pengakuan masyarakatnya, bahwa mereka pengamal fiqh Syafi’iy, dari segi ibadah, mu’amalah, mawarits, munakahat, dan sebagainya. Tetapi ilmuan tahu juga bahwa mazhab al-Syafi’iy didukung oleh banyak komentator (ash-hab) terhadap ushul-fiqhnya, sehingga terjadi antara satu konsep dengan konsep lainnya berbeda. Maka ilmuan fenomenologi ingin mengetahui praktek pengamalan fiqh, dikaitkan dengan pola kehidupan bermazhabnya.

Penekanan ilmuan fenomenologi adalah pada aspek subjektif dari pengamal fiqh. Ushuliyun berusaha masuk ke dalam dunia subjek yang dipelajarinya, sehingga ushuliyun mengerti apa dan bagaimana satu konsep yang dikembangkan. Pengamal fiqh dipercayai memiliki kemampuan untuk menfsirkan pengamalannya melalui interaksi. Ushuliyun fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Dia cukup pandai dengan cara memberikan “tekanan” pada pengamal fiqh untuk memberikan makna pada tindakan fiqihnya, tanpa mengabaikan realitas.

Demikian dapat difahami, karena istilah fenomenologi itu berkaitan dengan suatu persepsi, yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika ushuliyun dan pengamal fiqh memiliki kesadaran tertentu terhdap pengamalannya masing-masing. Pengamalan yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan pola-pola pengamalan fiqh itu tadi.

Perkembangan kesadaran yang diketahui oleh ushuliyun yang menggunakan fenomenologi akan dihadapkan pada sejumlah permasalahan fiqh dan ushul-fiqhnya. Paling tidak ada tiga permasalahan pokok, yaitu (a) Ketidak samaan data yang dihimpun oleh ushuliyun, karena perbedaan minat di kalangan mereka terhadap perilaku suatu mazhab di daerah yang sama (b) Masalah sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari pengamal mazhab yang berbeda (c) Menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara ushuliyun masih berbeda kriterianya.

Melihat tiga hal tadi, studi fenomenologi bisa dibantu dengan pendekatan etno-sains sebagai salah satu alternatif. Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model linguistik yang dikenal dengan pelukisan secara etik dan emik, pemaknaan ushul fiqh menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini pende-finisian ushul-fiqh merupakan akumulasi dari system ide, dalam istilah “makna” yang diberikan oleh pendukung mazhab pun turut diperhitungkan.

Pendekatan fenomenologi, ada yang mengkritik lagi dan diarahkan pada penglo-laan secara etnografis. Pendekatan ini mengkritik pandangan empirisisme radikal, naturalisme, dan fenomenologi murni. Kalau pendekatan ini diterapkan pada ushul-fiqh, maka (a) Persyaratan ‘illat (alasan hokum) menurut Hanafiyah harus berjangka luas, hingga memungkinkan untuk dijadikan dasar qiyas. Menurut Syafi’iyah ‘illat jangkauannya terbatas, karena hukum itu mengikuti ‘illat. Sedangkan menurut teori etnografis, bahwa ‘illat yang dirasakan oleh pengikut Mazhab Syafi’iy misalnya, belum tentu sejalan dengan konsep ‘illat yang dirumuskan oleh Ushulyun Syafi’iy yang menyusun ushul-fiqhnya. (b) Mengembangkan ushul-fiqh fenomenologis yang memperhatikan ‘dunia moral lokal’ terhadap masalah ekologi yang mengkaji situasi dan lingkungan. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia (af’al al-mukallafin) yang akan membentuk dan dibentuk oleh lingkungan setempat dan atau oleh budaya keagamaan setempat. (c) Arahan baru ushul-fiqh diarahkan pada fisik, karena subjektivitas adalah kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula. Karena itu, pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan fisik ini. Karena fisik merupakan aspek primordial dari sebjek-tivitas manusia sebagai makhluk social. (d) Ushul-fiqh yang diarahkan pada histeo-grafi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya pada kehidupan dan sejarah.

Demikian pengembangan ushul-fiqh, sebenarnya masih bisa dicapai lagi dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan praktek, dan pendekatan emansipatoris. Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan yang sudah disajikan di atas, sudah mencukupi untuk mengembangkan ushul-fiqh kita. Wallahu a’lam.

Daftar Bacaan :

Asymawi, Muhammad Sa’id al., Al-Islam al-Siyasiy, Kairo, 1992, Sina Li al-Nasyr.

Aziziy, A. Qadri, Pengembanagn Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta, 2003, Dipertais,

Ditjen, Bagais, Depag RI.

Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Jilid I, Jakarta, Edisi Pertama,2003, Prenada

Media.

Buwaithiy, Muhammad Said Ramadlan, Dlawabith al-Mashlahah Fi al-Syafiat al-

Islamiyah, Beirut, Cet. Ke 5, 1990 M., 1410 H., Muassasah al-Risalah.

Dikki al-Bab, Ja’far, Metoda Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, dalam Al-Kitab

Wa al-Qur’an,karya Muhammad Syahrur, Terjemah Sahiron, Yogyakarta, 2004

ELSAQ Press.

Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, 2003 Gajah

Mada Press.

Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah (Islamologi I) Diterjemahkan oleh Miftah Faqih,

Yogyakarta, 2003, LKiS,

Ibn Taymia, Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Beirut tt. Dar al-Fikr.

Ibrahim Abu Sulaiman, Abdulwahhab, Al-Fikr al-Ushuliy, Cet. Ke I, Jeddah, 1993,

1403 H., Dar al-Syuruq.

Mahfuzh, Anas Saidi, Metodologi Penelitian, Hanya Untuk Kalangan Sendiri, tt.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kwalitatif, Bandung, Cet. Ke 20, 2006,

Remaja Rosdakarya.

Musa, Muhammad Yusuf, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Kairo, 1963, Dar al-Kitab al-

Arabiyah.

Raziy, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Husain al., Al-Mahshul fi Ilm al-Usul

Beirut tt. Dar al-Kutub al-Arabiyah.

Sa’di, al-Iraqi, Abdulhakim abdurrahman, al., Mabahits al-Illat fi al-Qiyas ‘ind al-U-

Shuliyyin, Beirut, Pect. Ke I, 1982 M-1406 H., Dar al-Basyair al-Islaiyah.

Sarkhasi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Sahal, al., Al-Muharrar fi Ushul al-Fiqh,

Beirut, tt. Dar al-Kutub al-Arabiyah.

Syalabi, Muhammad Musthafa, Ta’lil al-Ahkam, Beirut, 1981 M-1401 H., Dar al-

Nahdlah al-Arabiyah.

Suryasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, 1984,

Penerbit Sinar Harapan.